Kamis, 31 Maret 2011

ƪ(♥ε♥)ʃ TENTANG AKU DAN KAMU ƪ(♥ε♥)ʃ

“TENTANG AKU DAN KAMU”


Langkahku terhenti saat hati mulai mencair karena rindu…
Tataplah mentari, karena hari ini semuanya harus kita akhiri
Genggamlah jariku, karena mungkin kita tak mungkin kembali ke masa-masa ini…
Peluk tubuhku ini, karena sungguh… aku ingin..

Pertama ku sentuh warnamu, saat hati ini gersang, penuh dengan debu….
Sperti Oase yg bangkitkan hasrat untuk berbagi angan.. kamu hadir bawakan aku Cinta..
Kamu buat aku tertunduk, merenung, dan menatap jauh ke dalam mata indahmu
Sungguh.., aku telah tenggelam dan hanyut dalam lautan cinta terlarang ini..

Saat kututup mataku, terbersit keinginan untuk bawa kamu jauh kedalam kehidupanku
Saat kuyakinkan hati ini bahwa kamu mampu bertahan dengan semua keadaanku saat ini
Selalu ada sesuatu yang memaksa aku berfikir kembali untuk melangkah lebih jauh
Sampai di Titik ini, aku harus menjawab… mengapa hatiku sering bimbang

Jujur…. dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam.. aku katakan…
Aku sayang kamu…… Aku cinta Kamu… Aku akan selalu rindu padamu…..
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada padamu
Hingga buatlah kamu benci padaku karena perasaanku ini…

Sampai kusadari, aku bukanlah orang yang kau cari…
Aku bukanlah putri dalam mimpimu…
Aku bukanlah pembawa bahagia di masa depanmu,
Aku hanya seorang pemimpi, yg dapat halangi kamu untuk temukan belahan hatimu yang lain..

Aku tak bisa menjadi tanpa batas dimatamu…
Akupun Kadang tak bisa selalu ada disisimu saat kamu butuh aku..
Aku tak bisa janjikan waktu-waktu indah untuk kamu,
Aku sadar benar, semua ini menyiksamu… aku dan kenangan-kenangan kita

Bila kita tak mungkin lagi bersatu,…
Sungguh….
Aku akan tetap berusah selalu ada untuk kamu,
Walau tak mungkin lagi hatimu utuh untukku..

Semoga kamu temukan cinta sejatimu, tanpa batas… hingga dunia tau….
Sesungguhnya ada ruang di dalam mata indahmu..
Ruang yang hanya pantas diisi dengan cinta tulus dengan hati…

I LOVE YOU SO MUCH


awal kehidupan !!! (•ˆ⌣ˆ•)

Percaya dengan jalan yang sudah di tentukan sang khaliq..
perkenalan dan berakhirnya hubungan  .. semua adalah rahasianya ..
umat di tuntut untuk berbuat baik setiap saat ..

kenapa ???

karena sang khaliq tidak mau hambanya melewatkan jalan yang sudah di tentukannya ..
ibarat itu adalah pembelajaran untuk kita bisa naik kelas (masuk ke tahap hidup selanjutnya)

beliau akan terus memberikan jalan yang sama sampai kita dapat melewatinya !!!

Selasa, 29 Maret 2011

G2 - Kesendirianku

puisi tentang cinta♥ε♥

ku coba merajut serpihan bayangmu
satu demi satu hingga nyata
tampak utuh dirimu
ku coba menyatukan serpihan
kisah kisah tentang pagi
dan cerita kita
di hari hari ini
Galau dan gundah menguasaiku
Betapa tidak..?!
rasa ini terus tumbuh
seiring berjalanya waktu
sebelum semuanya kian jauh
sebelum rasa ini kian bercampur
dan terus mengalir di ateri darahku
aku ingin kau tau
aku sayang kamu ƪ(♥ε♥)ʃ

Kamis, 24 Maret 2011

( ​​​•͡˘˛˘ •͡) kisah hidup CHEN SHU CHE ( ​​​•͡˘˛˘ •͡)"

Chen Shu-chu, Pedagang Sayur yang Menyumbang Rp 3 M
 
Beramal itu Membahagiakan

Pedagang sayur di sebuah pasar di Taitung Taiwan sudah menyumbang hampir Rp 3 M selama 16 tahun ini. Padahal dia juga bukan seorang yang kaya raya. Apa yang memotivasi dia menyumbang? Dan bagaimana pula dia mengumpulkan uang hingga sebanyak itu?
Chen Shu-chu
Sosoknya sangat sederhana, selayaknya pedagang sayur di kios kecil. Tapi yang mencengangkan dari Chen Shu-chu, si pedagang sayur itu, dia sudah menyumbang hampir Rp 3 M dalam 16 tahun terakhir ini.

Padahal, omzet penjualan sayur Chen Shu-chu tidak jauh beda dengan pedagang-pedagang lainnya. Namun ada yang membedakan Chen Shu-chu dengan pedagang lain.

”Ada dua tujuan ketika saya berjualan. Menabung, kemudian mendermakan uang itu,” kata Chen Shu-chu, pedagang sayur di pasar di Taitung, Taiwan. Itulah yang membedakan Chen Shu-chu dengan pedagang-pedagang lainnya.

Dan, karena kedermawanannya itu Chen Shu-chu masuk dalam daftar 100 Orang Berpengaruh versi Majalah Times tahun 2010, katagori pahlawan. Selain itu ia juga menjadi salah satu Hero of Philanthropy versi Forbes Asia.

Padahal dengan rendah hati, Shu-chu selalu berujar bahwa apa yang dilakukannya bukanlah sesuatu yang istimewa. ”Ini sesuatu yang sederhana dan setiap orang bisa melakukannya. Di luar sana banyak orang yang melakukan sesuatu lebih hebat dari saya,” katanya merendah.

Tapi, jika ada seseorang yang bisa menyumbang lebih besar dari penghasilannya, hanya sedikit orangnya dan Shu-chu salah satunya. Hidupnya didedikasikan untuk membantu sesama.

Rp 3 M sudah ia sumbangkan kepada sesama. Sekitar Rp 300 juta Shu-chu sumbangkan untuk yayasan anak-anak pada 2004.

Rp 1,3 M didonasikan untuk membangun perpustakaan di sekolah tempat dia bersekolah dulu. Shu-chu juga memberikan Rp 280 juta untuk yayasan anak yatim piatu Kids Alive International dan tambahan Rp 100 juta untuk mengasuh tiga anak di yayasan itu pada 2006.

Tahun ini Shu-chu menyiapkan dana sekitar Rp 2,9 M untuk membantu pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin. Nah, jika itu yang ia lakukan, siapa yang bisa menandingi?

Lantas, apa yang memotivasi Shu-chu menyumbang secara rutin dengan jumlah yang sangat besar itu? ”Dulu saya pernah dibantu, sekarang giliran saya membantu,” katanya.

Tapi ada satu peristiwa yang menjadi awal Shu-chu menyumbang. ”Tahun 1994, ayah saya meninggal dan beliau mewariskan uang sekitar Rp 250 juta dari asuransi jiwa. Tapi tidak sepeser pun saya menggunakan uang tersebut, karena itu memang bukan uang saya,” tuturnya.

Karenanya agar uang itu benar-benar bermanfaat, Shu-chu menyumbangkan keseluruhannya ke Fo Guang Shan Monastery sebuah organisasi amal masyarakat Buddha.

Dari jumlah itu Shu-chu menambahkan Rp 34 juta dari tabungannya sebagai bakti kepada ayah yang sudah membesarkannya. ”Dengan uang itu saya berdoa agar arwah saya mendapat tempat yang layak di alam baka,” tambahnya.


Keluarga Miskin
 


 

 

Shu-chu sendiri terlahir di keluarga miskin. Ayah dan ibunya hanya penjual sayur di pasar. Ia memiliki enam saudara yang hidupnya sangat bergantung dari hasil jualan sayur itu.

”Kami benar-benar miskin ketika saya kecil. Saya ingat adik saya sakit, tapi kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit karena kami sama sekali tidak punya uang,” kenangnya.

Untunglah guru-guru di sekolahnya menggalang dana untuk adik Shu-chu. Hingga akhirnya si adik berhasil sembuh. Sejak saat itu Shu-chu berjanji dalam hati, kelak ia akan membantu sesamanya jika sudah bisa mencari uang sendiri.

Ujian yang diterima Shu-chu ternyata belum berhenti. Ketika berusia 13 tahun, sang ibu meninggal dunia. Sebagai anak tertua, Shu-chu merasa terpanggil untuk membantu ayahnya berjualan.

Ia pun harus berhenti sekolah dan total mengabdikan hidupnya untuk mencari nafkah. Dari penghasilannya setiap hari, Shu-chu selalu menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung.

Hal itu dilakukan setiap hari. Hingga pada jumlah tertentu, Shu-chu mendonasikan kepada anak-anak yatim piatu.

Memang tidak setiap tahun Shu-chu menyumbang, tapi setiap hari dia konsisten menabung. Paling tidak Rp 30 ribu ia sisihkan untuk ditabung.

Demi tabungan Rp 30 ribu setiap hari itu, Shu-chu harus bekerja selama 18 jam sehari. ”Saya bangun jam tiga pagi setiap harinya, kemudian mengambil sayuran dari pasar induk dan dibawa ke pasar kecil tempat saya berjualan,” tuturnya.

Mulai pukul 04.00 hingga 20.00, Shu-chu bekerja di pasar. Ia hanya makan sekali sehari agar bisa menyisihkan uang lebih banyak.

Hal itu dilakukan setiap hari tanpa lelah dan mengeluh selama 46 tahun. ”Memang melelahkan dan kadang membosankan. Tapi, saya berusaha melakukannya dengan ikhlas karena saya memiliki niat untuk menyumbang lebih banyak lagi dari penghasilan saya setiap harinya,” kata Shu-chu.


Rela Tidak Menikah

Demi mendapatkan uang yang banyak dan tanggung jawab terhadap adik-adiknya, banyak yang harus dikorbankan Shu-chu. Selain sekolah, Shu-chu juga rela tidak menikah.

Padahal ketika berusia 20-an tahun, Shu-chu nyaris mendapat kesempatan itu. ”Iya, saya memang tidak menikah, tapi sempat hampir. Waktu itu usia saya baru 20-an tahun, kemudian ayah saya mendekati saya dan menanyakan mana yang lebih penting, kehidupan pribadi saya atau saudara-saudara saya?” kenang Shu-chu.

Shu-chu pun berpikir ulang, kemudian memutuskan untuk tidak menikah. ”Saya menyadari apa gunanya hidup bahagia sementara saudara-saudara saya menderita. Toh itu juga tidak akan membuat saya bahagia,” katanya.

Dengan ikhlas Shu-chu pun tetap melajang hingga usia hampir enam dasawarsa ini. ”Kebahagiaan keluarga saya lebih penting. Setelah mereka bahagia baru memikirkan kebahagiaan saya sendiri,” imbuhnya.

Dengan melajang, Shu-chu juga merasa lebih fokus dalam menjalankan misinya. ”Andaikan saya berkeluarga, tentu saya tidak bisa berdonasi lebih banyak. Karena tentunya banyak kebutuhan yang harus saya penuhi,” kata Shu-chu lagi.

Lantas, adakah saran atau nasihat agar orang lain bersedia mendonasikan uangnya untuk orang lain? ”Aduh, setiap orang kan memiliki prinsip sendiri-sendiri. Saya berkomitmen beramal karena dulu saya pernah dibantu. Kemiskinan itu sangat mengerikan, karena keluarga saya sangat miskin dulu. Jadi, saya ingin mengurangi kemiskinan sesuai kemampuan saya,” sarannya.

Menurut Shu-chu, setiap orang juga bisa beramal. Tidak perlu menjadi kaya untuk bisa melakukannya.

”Beramal itu membahagiakan. Ada perasaan berbeda ketika bisa membuat orang lain tertawa. Wah, benar-benar tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Karenanya saya akan terus beramal,” tegasnya.

”Bagi saya, uang itu akan bermakna jika dimanfaatkan mereka yang membutuhkan,” tambahnya. 


http://www.nyata.co.id/detail/192/Beramal-itu-Membahagiakan

Senin, 21 Maret 2011

•ԅ(ˆ⌣ˆԅ) TRUE STORY •ԅ(ˆ⌣ˆԅ)

25 tahun yang lalu,
Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.
Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami
ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam
tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa
sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa d! an salam
sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur
karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku
sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku..
Cita-cita kami sederhana,ingin hidup bahagia.


22 tahun yang lalu,
Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan
keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya
momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia
bisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi
baik hingga dia tampak ! sempurna. Kulitnya masih merah,
mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak
dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus
bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania tak
mau menerima kami.. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk
memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin,
suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.


19 tahun yang lalu,
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang
berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke
kursi la! lu dari kursi ke lantai kemudian berteriak
'Horeee, Iya bisa terbang'. Begitulah dia
memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu
merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak
jarang berteriak, 'Iya sayaaang,' jika sudah
terdengar suara 'Prang'. Itu artinya, ada yang
pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca..
Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat
dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya
terpental. Dan dia cuma bilang 'Kenapa semua kaca di
rumah ini selalu pecah, Ma?'


18 tahun yang lalu,
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal
dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin
lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak
membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi
jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya.
'Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain
bola!' tapi aku tidak suka dia menangis terus minta
bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku
bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang
sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola
itu. 'Horee, Iya jadi pemain bola.'


17 Tahun yang lalu
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan.
Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak
akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak
tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku
tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari
sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola
sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah
jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku
mengalahkan kehati-hatianku dan 'Iyaaaa'. Sebuah
truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya
berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku
sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang
kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku
bekerja sementara
pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah
konsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata
'Coba kalau kamu tak belikan ia bola!'

15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang
pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan
menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya
mulai banyak dibe! ntak. Aku hanya bisa membelainya. Dan
bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat
marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku
tak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar
negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar untuk
mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan
dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia
memang pergi ke Malaysia .


13 tahun yang lalu,
Setahun sejak keper! gian Kania, keuangan rumahku sedikit
membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar
kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk
SMP. Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya.
Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa
melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan
pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku
miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh
remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi
keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku
harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup
tegar.


10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.
Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu
sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan
hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya.
'Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.' Mungkin
itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar
dia tidak marah walau tak urung menangis juga.
'Sabar ya, Nak!' hiburku.
'Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak
diganggu!' pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku
maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam
hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari
kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah
semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak
pernah menunjukkan
kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di
bangku SMP.!


7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku,
kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar
kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika
aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang
membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi
TKI ke Malaysia . Sulit baginya mencari pekerjaan di sini
yang cuma lulusan SMP.. Haruskah aku melepasnya karena
alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai
habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan
rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah
itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha
kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak
kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku
baik-baik saja.


4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat ! mengirimi aku uang. Hampir tiga
tahun dia di sana . Dia bekerja sebagai seorang pelayan di
rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka dengan
laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan
sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu
adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah
ingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu.
Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca
dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu
hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa
salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat
tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti
setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin
untuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih
pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.


3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian
pemerintahan Malaysia , kabarnya anakku ditahan. Dan dia
diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami
majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis,
aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin
membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta
bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari
maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku
selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku
hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia
memang bersalah.


2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah.
Dan dia harus menjalani ! hukuman gantung sebagai
balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis
sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya
tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah
keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri.
Wahai Allah kuatkan aku.

Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia .
Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya.
Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak.
Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada.. Aku
masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke
arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.

'Bapak, Iya Takut!' aku memeluknya lebih erat
lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya.
'Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?'
'Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya
tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia
jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan
, Pak!' Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib
anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa
apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku
dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat.
Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku,
tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di
Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita
itu.


2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan
hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah
datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya.
Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana . Petugas itu
membuka papan yang diinjak anakku. Dan 'blass'
Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis.
Setelah yakin suda! h mati, jenazah anakku diturunkan
mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku.
Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku
mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air
mata aku melihat garis wajah yang kukenal.
'Kania?'
'Mas Har, kau ... !'
'Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!'
'Iya? Dia..dia . Iya?' serunya getir menunjuk
jenazah anakku.
'Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola
jika sudah besar.'
'Tidak ... tidaaak ... ' Kania berlari ke arah
jenazah anakku. Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit
histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan
secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia
diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya 'Terima kasih
Mama.' Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah
tahu wanita itu ibunya.


Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku.
Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir
kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan
di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yang
mengantarkan
jenazahnya padaku, dia sering berteriak, 'Iya
sayaaang, apalagi yang pecah, Nak.' Kamu tahu Kania,
kali ini yang pecah adalah hatiku.


Sumber : TRUE STORY